Jepang
tidak pernah membuat saya berhenti kagum. Dari segi hiburan, khususnya film,
Jepang tak pernah berhenti menghasilkan film-film yang inovatif serta membekas
di hati para penikmat film. Salah satu film tersebut yang baru-baru ini dirilis
oleh Jepang adalah Confessions atau Kokuhaku. Film ini merupakan film kesebelas
dari sineas Jepang Tetsuya Nakashima yang pernah menyutradarai Memories of
Matsuko dan Paco and the Magical Picture Book. Film yang merupakan perwakilan
Jepang untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik dalam 83rd Academy Awards
ini mampu menyihir penonton untuk duduk dengan manis walaupun film ini dapat
dikategorikan sebagai drama psikologikal thriller
dengan tema yang tidak sedangkal dari apa yang diasumsikan pertama kali.\
Confessions
dimulai ketika semester bagi suatu sekolah menengah di Jepang berakhir.
Murid-murid kelas 1-B menyambut dengan gembira. Namun ada hal yang berbeda
dengan akhir semester kali ini, yaitu hari itu juga merupakan hari terakhir
guru mereka, Yuko Moriguchi (Takako Matsu) mengajar. Namun, sang guru tidak
akan melepas anak muridnya tanpa “kenang-kenangan” yang akan membekas pada diri
mereka. ia membeberkan bahwa anak semata wayangnya telah dibunuh oleh dua orang
muridnya yang tengah duduk di kelas tersebut. Dan Bu Moriguchi telah menyiapkan
“kado istimewa” bagi keduanya murid tersebut.
Dari
penggalan awal cerita dari film ini mungkin banyak yang menduga bahwa film ini
akan serupa dengan Battle Royale arahan Kinji Fukasaku yang banyak berisi
kesadisan dan pembunuhan. Tidak sepenuhnya salah anggapan tersebut. Saya pribadi
memyimpulkan bahwa film ini merupakan
Battle Royale tanpa banyak adegan sadis dan pertumpahan darah, karena dari awal
sampai akhir film ini didominasi oleh monolog-monolog dan dialog-dialog dalam
bentuk curahan hati dari masing-masing tokoh utama dalam film ini dan kejadian-kejadian
yang mengikutinya. Tiap-tiap curahan hati dari para tokoh ini saling bertautan
dan diakibatkan oleh satu kejadian, yaitu kematian anak perempuan dari Bu
Moriguchi yang menimbulkan luka mendalam kepadanya. Dendam, penderitaan,
kesedihan, kepelikan, semua bercampur aduk di dalam cerita film ini. Sekilas,
film ini terdengar seperti drama, namun dibalik itu ternyata berisi thriller
psikologis yang mampu mempermainkan emosi penonton dengan segala konflik yang
terjadi diantara para tokoh serta memicu pertanyaan-pertanyaan akan apa yang
akan terjadi selanjutnya pada tokoh-tokoh di dalamnya.
Akting
dari para pemainnya pun sangat baik. Saya rasa tak ada satu pun pemain yang
bermain dengan buruk disini, semuanya terlihat natural, terutama Takako Matsu
sebagai seorang guru yang membalaskan dendam kepada murid-muridnya. Takako
Matsu yang juga merupakan seorang penyanyi kenamaan di Jepang ini berperan
dengan alami dan tanpa kekakuan. Saya sering membandingkan karakter Bu
Moriguchi disini dengan Jigsaw dari film SAW series dalam melakukan aksinya,
namun Bu Moriguchi ini punya metode yang berbeda dan lebih cerdas serta tujuan
yang sedikit berbeda dengan Jigsaw. Para
aktor dan aktris muda yang berperan sebagai Shuya Watanabe, Naoki Shimamura,
dan Mizuki Kitahara juga patut diacungi jempol. Apalagi beberapa dari mereka
melakukan debutnya dalam film ini. Sungguh merupakan awalan yang baik bagi
seorang aktor dan aktris muda.
Visualisasi
dari film ini juga merupakan hal yang patut diperhatikan. Film yang memiliki
cerita yang beratmosfer suram dan kelam ini disajikan dengan sinematografi yang
indah. Banyak dari special effect
yang disajikan merupakan slow motion,
namun ditampilkan dengan pas dan tidak monoton. Meskipun pada beberapa adegan
dengan special effect tersebut
menjadi terkesan berlebihan, namun perlu diketahui bahwa ini merupakan ciri
khas dari sang sutradara yang juga dibawa dari film-filmnya terdahulu.
Score
music yang dibawa oleh Tetsuya untuk film ini rata-rata bertempo pelan
sebagai backsound dalam hampir tiap
adegan. Pemilihan musik dari band Drone Metal asal Jepang, Boris sebagai backsound dari berbagai adegan dalam
film ini cukup tepat. Lalu pada pengisi pada beberapa adegan, terutama adegan
Shuya yang di-bully oleh teman
sekelasnya dengan musik dari Radiohead sangat pas dengan isi dari lagu tersebut
dan musiknya yang bernuansa sedih. Digabung dengan sinematografi yang baik tadi
menjadikan film ini layaknya sebuah video musik yang berisi kompilasi lagu-lagu
yang bagus.
Meskipun
bergelimpangan akan kelebihan, suatu film tetap saja dapat ditemukan
keburukannya, tak terkecuali film ini. Cerita dari film ini saya rasa sedikit
berlebihan, apalagi menjelang akhir cerita. Disini tidak akan saya beberkan
karena ini merupakan bagian penutup dari cerita yang mungkin bagi sebagian
orang, termasuk saya, dirasa berlebihan dan sedikit terkesan tak maungkin
terjadi. Ya, mungkin saja ini bukan sepenuhnya salah dari film ini, karena film
ini sendiri merupakan adapatasi dari novel karya Minato Kanae yang berjudul
sama.