Monday, October 15, 2012

Confessions / Kokuhaku (2010)




Jepang tidak pernah membuat saya berhenti kagum. Dari segi hiburan, khususnya film, Jepang tak pernah berhenti menghasilkan film-film yang inovatif serta membekas di hati para penikmat film. Salah satu film tersebut yang baru-baru ini dirilis oleh Jepang adalah Confessions atau Kokuhaku. Film ini merupakan film kesebelas dari sineas Jepang Tetsuya Nakashima yang pernah menyutradarai Memories of Matsuko dan Paco and the Magical Picture Book. Film yang merupakan perwakilan Jepang untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik dalam 83rd Academy Awards ini mampu menyihir penonton untuk duduk dengan manis walaupun film ini dapat dikategorikan sebagai drama psikologikal thriller dengan tema yang tidak sedangkal dari apa yang diasumsikan pertama kali.\



Confessions dimulai ketika semester bagi suatu sekolah menengah di Jepang berakhir. Murid-murid kelas 1-B menyambut dengan gembira. Namun ada hal yang berbeda dengan akhir semester kali ini, yaitu hari itu juga merupakan hari terakhir guru mereka, Yuko Moriguchi (Takako Matsu) mengajar. Namun, sang guru tidak akan melepas anak muridnya tanpa “kenang-kenangan” yang akan membekas pada diri mereka. ia membeberkan bahwa anak semata wayangnya telah dibunuh oleh dua orang muridnya yang tengah duduk di kelas tersebut. Dan Bu Moriguchi telah menyiapkan “kado istimewa” bagi keduanya murid tersebut.
Dari penggalan awal cerita dari film ini mungkin banyak yang menduga bahwa film ini akan serupa dengan Battle Royale arahan Kinji Fukasaku yang banyak berisi kesadisan dan pembunuhan. Tidak sepenuhnya salah anggapan tersebut. Saya pribadi memyimpulkan bahwa  film ini merupakan Battle Royale tanpa banyak adegan sadis dan pertumpahan darah, karena dari awal sampai akhir film ini didominasi oleh monolog-monolog dan dialog-dialog dalam bentuk curahan hati dari masing-masing tokoh utama dalam film ini dan kejadian-kejadian yang mengikutinya. Tiap-tiap curahan hati dari para tokoh ini saling bertautan dan diakibatkan oleh satu kejadian, yaitu kematian anak perempuan dari Bu Moriguchi yang menimbulkan luka mendalam kepadanya. Dendam, penderitaan, kesedihan, kepelikan, semua bercampur aduk di dalam cerita film ini. Sekilas, film ini terdengar seperti drama, namun dibalik itu ternyata berisi  thriller psikologis yang mampu mempermainkan emosi penonton dengan segala konflik yang terjadi diantara para tokoh serta memicu pertanyaan-pertanyaan akan apa yang akan terjadi selanjutnya pada tokoh-tokoh di dalamnya.


Akting dari para pemainnya pun sangat baik. Saya rasa tak ada satu pun pemain yang bermain dengan buruk disini, semuanya terlihat natural, terutama Takako Matsu sebagai seorang guru yang membalaskan dendam kepada murid-muridnya. Takako Matsu yang juga merupakan seorang penyanyi kenamaan di Jepang ini berperan dengan alami dan tanpa kekakuan. Saya sering membandingkan karakter Bu Moriguchi disini dengan Jigsaw dari film SAW series dalam melakukan aksinya, namun Bu Moriguchi ini punya metode yang berbeda dan lebih cerdas serta tujuan yang sedikit berbeda dengan Jigsaw.  Para aktor dan aktris muda yang berperan sebagai Shuya Watanabe, Naoki Shimamura, dan Mizuki Kitahara juga patut diacungi jempol. Apalagi beberapa dari mereka melakukan debutnya dalam film ini. Sungguh merupakan awalan yang baik bagi seorang aktor dan aktris muda.
Visualisasi dari film ini juga merupakan hal yang patut diperhatikan. Film yang memiliki cerita yang beratmosfer suram dan kelam ini disajikan dengan sinematografi yang indah. Banyak dari special effect yang disajikan merupakan slow motion, namun ditampilkan dengan pas dan tidak monoton. Meskipun pada beberapa adegan dengan special effect tersebut menjadi terkesan berlebihan, namun perlu diketahui bahwa ini merupakan ciri khas dari sang sutradara yang juga dibawa dari film-filmnya terdahulu.



 Score music yang dibawa oleh Tetsuya untuk film ini rata-rata bertempo pelan sebagai backsound dalam hampir tiap adegan. Pemilihan musik dari band Drone Metal asal Jepang, Boris sebagai backsound dari berbagai adegan dalam film ini cukup tepat. Lalu pada pengisi pada beberapa adegan, terutama adegan Shuya yang di-bully oleh teman sekelasnya dengan musik dari Radiohead sangat pas dengan isi dari lagu tersebut dan musiknya yang bernuansa sedih. Digabung dengan sinematografi yang baik tadi menjadikan film ini layaknya sebuah video musik yang berisi kompilasi lagu-lagu yang bagus.
Meskipun bergelimpangan akan kelebihan, suatu film tetap saja dapat ditemukan keburukannya, tak terkecuali film ini. Cerita dari film ini saya rasa sedikit berlebihan, apalagi menjelang akhir cerita. Disini tidak akan saya beberkan karena ini merupakan bagian penutup dari cerita yang mungkin bagi sebagian orang, termasuk saya, dirasa berlebihan dan sedikit terkesan tak maungkin terjadi. Ya, mungkin saja ini bukan sepenuhnya salah dari film ini, karena film ini sendiri merupakan adapatasi dari novel karya Minato Kanae yang berjudul sama.

Tetsuya Nakashima lagi-lagi membuat dunia berdecak kagum kepadanya dengan kehadiaran Confessions atau Kokuhaku ini. Meski terhalang oleh sedikit masalah dengan logika film, namun hal tersebut tidaklah seharusnya menjadi masalah yang besar. Tensi cerita yang terus dijaga dari awal sampai akhir cerita, didukung akting para pemeran yang sungguh baik dan sinematografi serta musik yang ditata sedemikian sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi film ini menjadikan film ini sangat layak untuk dinikmati.